Skripsi
Buna Sasi. Suatu tinjauan teologisterhadap pemahaman jemaat Syalom Noebana klasis Amanatun Timor mengenai makna motif kain tenunan dan implikasinya bagi jemaat setempat
ABSTRAK
Pada dasarnya manusia lahir dan hidup dalam kebudayaan yang memiliki nilai, mengatur pola tindakan, serta berisi norma-norma sebagai acuan hidup. Kebudayaan dengan sendirinya menjadi ajaran secara turun temurun kepada setap generasi dan dijadikan sebagai tolak ukur untuk menilai dan mengatur kehidupan manusia. Desa Noebana, terletak di Kecamatan Noebana, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dalam kehidupan berjemaat dan bermasyarakat, orang yang ada di Desa Noebana masih berpegang pada kebudayaan yang telah diturunkan oleh generasi- generasi sebelumnya. Salah satu bagian kebudayaan yang masi dijaga dan dipertahankan hingga saat ini adalah kebudayaan menenun. Kebudayaan menenun di Desa Noebana dipandang sebagai pekerjaan perempuan yang tidak boleh dilakukan oleh laki-laki. Hal ini bertolak dari pembagian tugas kepada laki-laki dan perempuan pada saat seorang anak baru berusia empat hari dan hendak diperkenalkan kepada masyarakat dan juga alam melalui upacara napoitan liana. Dalam upacara ini ada janji semacam pembagian pekerjaan kepada laki-laki dan perempuan, bahwa laki-laki akan membawa parangnya untuk pergi mengerjakan kabun, sedangkan perempuan akan duduk dan mengerjakan benang-benang. Pengetahuan menenun yang diterima oleh perempuan di Desa Noebana merupakan ajaran dari ibu, nenek, atau kerabat perempuan mereka. Pengetahuan menenun ini tidak hanya diterima oleh seorang perempuan di sekolah, tetapi juga diterima sebagai pendidikan non formal di rumah dan lingkungan tempat mereka hidup. Ajaran yang diterima ini bukan hanya tentang bagaimana melakukan pekerjaan menenun, tetapi juga mengenai warna dan motif yang harus dipakai. Warna yang dipakai seorang perempuan Noebana untuk menenun yakni warna hitam, putih, merah, kuning, dan jingga, sedangkan motif yang harus dibentuk adalah lotis, futus, dan buna. Hal ini dipandang penting karena setiap warna dan motif yang ditenun oleh seorang perempuan Noebana memiliki, nilai, dan maknanya sendiri. Dalam penulisan ini, penulis memberikan perhatian pada motif buna, khususnya buna sasi yang berasal dari kata kol sasi, dalam bahasa Indonesia burung srigunting. Motif tenunan kol sasi yang dikerjakan oleh seorang perempuan Noebana, dengan tiap utas benang yang dibentuk saling kait mengait, menunjukkan identitas diri masyarakat Noebana untuk tetap saling mengenal di manapun mereka berada ketika mereka melihat motif tersebut. Burung dalam totem orang Timor dipandang sebagai pengantara, dalam artian bahwa dalam kepercayaan mereka orang yang sudah meninggal jiwanya akan menjelma sebagai seekor burung yang bersama-sama dengan manusia. oleh karena itu orang Noebana memilih motif burung sebagai bentuk penghargaan mereka terhadap para leluhur. Selain itu, burung srigunting ini dibentuk sebagai motif mereka karena bentuk ekornya yang unik, yang terbuka saat ia berteriak dan tertutup saat ia diam. Dari ekor burung ini mereka kemudian berefleksi bahwa kehidupan mereka seperti ekor burung tersebut. Jika mereka diam dan saling mendengar, maka persekutuan mereka akan tetap utuh, akan tetapi ketika mereka mulai saling tidak mendengar, mengajukan pendapat sesuka hati, dan hidup dalam keinginan untuk lebih dari yang lain, maka mereka akan sama seperti ekor burung tersebut yang terbuka, artinya persekutuan mereka akan terpecah. Oleh karena itu, penulis melihat bahwa penting sekali nilai dan makna-makna yang terkandung dalam motif kol sasi ini didialogkan dengan teks-teks Alkitab, bukan untuk membuat salah satu mendominasi yang lain, melainkan untuk dapat melihat sumbangan-sumbangan yang dapat diberikan oleh budaya kepada Injil, sebaliknya sumbangan yang diberikan oleh Injil kepada kebudayaan yang telah dihidupi oleh masyarakat setempat demi keutuhan kain tenunan milik Allah yang adalah jemaat itu.
794/16 | PTK PUSAT UKAW | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak di pinjamkan |
Tidak tersedia versi lain