Skripsi
Analisis putusan Mahkamah konstitusi Nomor: 20/PUU-XIV/2016
Dalam putusan Nomor 20 / PUU-XIV/2016 pada Kasus Setya Novanto, Mahkamah konstitusi berpendapat bahwa pembicaraan rekaman sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan,dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan tidak mempunyai kekuatan hukum berdasarkan Pasal 31 ayat (3) Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berdasarkan putusan ini, maka di rumuskan bahwa: “Mengapa dalam Pengujian Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh Mahkamah Konstitusi lewat Putusannya Nomor: 20/PUU/-XIV menyatakan bahwa Alat Bukti Elektronik tidak mempunyai Kekuatan hukum mengikat� Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi tentang alat bukti ilegal yang bermanfaat secara teoritis maupun praktis. Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah berupa penelitian kepustakaan tentang dokumen Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 20 /PUU-XIV/2016 sehingga sifatnya normatif dan data yang diperoleh berupa bahan primer, sekunder dan tersier yang dianalisis secara preskriptif, komprehensif dan lengkap. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa: Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 menimbulkan konsekuensi bahwa; Pertama, Alat bukti elektronik yang diperoleh tidak prosedural; Kedua, Pelanggaran terhadap hak –hak konstitusional warga negara yang didasarkan atas alat bukti yang tidak sah (illegal) jelas melanggar prinsip due process of law yang merupakan refleksi dari prinsip negara hukum; Ketiga, Pelanggaran hak- hak hukum dan atau hak yuridis yang diatur dalam undang undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebab perekeman ilegal sebagai perampasan kemerdekaan hanya dapat dilakukan sebagai bagian dari hukum acara pidana. Mendasari Hasil pembahasan di atas, maka disimpulkan bahwa: Alat bukti elektronik yang diperoleh tidak prosedural. Karena norma dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44 huruf b Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi Elektronik tidak mengatur secara tegas mengenai alat bukti yang sah adalah berkaitan dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan perekaman adalah aparat penegak hukum, apabila ada barang bukti yang tidak termasuk dalam klasifikasi alat bukti menurut Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maka barang bukti tersebut tidak sah menurut Undang-Undang tersebut.Pertama, Perlu revisi pengaturan tentang hak-hak privasi yang diatur dalam Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sehingga tidak bertentangan dengan konstitusional warga negara. Kedua. Perlu adanya perlindungan hukum terhadap hak-hak atas privasi dan hak asasi manusia dalam penyadapan dan perekaman berhubungan dengan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sehingga tidak terjadi kesewenagan dalam melakukan penyadapan dan perekaman.
53/17 | PTK PUSAT UKAW | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak di pinjamkan |
Tidak tersedia versi lain