Skripsi
GEREJA YANG INKLUSIF DIFABILITAS:Suatu Refleksi Teologis Sosial terhadap perjuangan pada Penyandang Difabel di PERSANI NTT dan Implikasinya bagi pelayanan Gereja Masa Kini
ABSTRAK Difabilitas adalah istilah yang kini mulai diperkenalkan sebagai istilah yang lebih ramah untuk menyebutkan isu sosial tentang penyandang difabel. Umumnya, dalam masyarakat patriarkhal, terlahir sebagai penyandang difabel atau menjadi penyandang difabel adalah kutukan, aib bagi keluarga dan kekurangan yang sulit diterima. Mereka menjalani hidup yang berbeda dengan orang lain pada umumnya, ditolak di sana-sini, bahkan dalam ungkapan kebanyakan orang, mereka disebut sebagai yang “tidak normal†atau “abnormalâ€ÂÂ. Berbagai permasalahan yang dialami para penyandang difabel sangat kompleks, karena keterkaitan antara masalah yang satu dengan masalah yang lainnya. Hal ini menuntut adanya penanganan yang kompleks pula dengan berbagai model pendekatan, termasuk pendekatan teologis. Sayangnya, isu sosial difabilitas ini belum begitu dikenal dengan baik di masyarakat, padahal secara faktual, penyandang difabel ada di mana saja dan setiap orang sedang menuju kepada kedifabilitasannya masing-masing. Kurangnya pemahaman yang baik mengenai isu ini mengakibatkan tidak ditanganinya isu ini secara serius dan diterlantarkannya para penyandang difabel. Fakta pengalaman para penyandang difabel di PERSANI NTT merupakan contoh kecil dari fakta termarginalnya para penyandang difabel dalam berbagai bidang kehidupan. Alkitab mengungkapkan bahwa semua manusia, penyandang difabel maupun orang- orang non difabel adalah penyandang gambar Allah. Sebagai penyandang gambar Allah, manusia adalah ciptaan yang memiliki nilai, harkat dan martabat. Gambar Allah itulah yang membedakan manusia dari binatang dan ciptaan lainnya. Karena itu, harusnya tidak ada pembedaan perlakuan terhadap sesama manusia sebagai sesama penyandang gambar Allah. Penyandang difabel dengan segala keterbatasannya tidak mengurangi sedikitpun keindahan dari gambar Allah yang ada padanya. Bahkan dosa pun tidak mampu menghilangkan keindahan anugerah Allah yang satu itu dari manusia. Pengakuan akan gambar Allah di dalam diri semua manusia, harusnya mendorong setiap orang untuk memperlakukan sesamanya dengan penuh kasih, bukan malah menguasai dan memanfaatkan orang lain demi kepentingan sendiri. Berteladanlah dari Yesus, sebagaimana yang diamanatkan Paulus kepada Jemaat di Filipi (Flp. 2:1-11). Dalam menyikapi kenyataan hidupnya, para penyandang difabel PERSANI NTT berefleksi tentang Yesus yang menunjukkan keberpihakkan-Nya terhadap orang-orang termarginal dalam masyarakat, termasuk para penyandang difabel. Hal ini ditunjukkan Yesus melalui belas kasihan-Nya ketika berjumpa dengan orang-orang istimewa itu pada masa hidup dan pelayanan-Nya. Spirit berbelas-kasih dari Yesus itulah yang mengubahkan kehidupan para penyandang difabel menjadi lebih baik, membebaskan mereka dari penderitaan oleh karena kedisabilitasan mereka, baik secara fisik, psikis maupun sosial. Mereka yang disembuhkan kembali hidup merdeka sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat, bahkan mengubahkan hidup mereka dari obyek kedermawanan orang lain menjadi subyek pemberita injil. Rasul Paulus berkata: “Jadi, siapa yang ada di dalam Kristus, Ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datangâ€ÂÂ(2 Kor. 5:17). Hanya di dalam Yesus, manusia dapat kembali kepada gambar Penciptanya. Orang-orang yang termarginal dalam masyarakat, seperti penyandang difabel juga menjadi pusat dari pelayanan Yesus. Dengan inisiatif-Nya, Allah telah mengutus gereja ke dalam dunia untuk membawa kabar baik kepada dunia yang penuh penderitaan, termasuk kepada mereka yang terbuang dan terpinggirkan. Hanya dengan menjadi gereja yang inklusif, gereja dapat menunaikan tugas panggilannya dengan baik. Menjadi gereja yang inklusif berarti menjadi rumah untuk semua, turut menderita dan berjuang bersama mereka yang menderita.
891/17 | PTK PUSAT UKAW | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Tidak di pinjamkan |
Tidak tersedia versi lain